Hukum-Hukum terkait Walimah (Pesta Pernikahan) (Bag. 5)
Teks Hadis Ketujuh
Dari sahabat Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
طَعَامُ أَوَّلِ يَوْمٍ حَقٌّ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّانِي سُنَّةٌ، وَطَعَامُ يَوْمِ الثَّالِثِ سُمْعَةٌ
“Makanan (walimah) pada hari pertama adalah haq, makanan pada hari kedua adalah sunah, dan makanan pada hari ketiga adalah sum’ah (riya atau pamer).” (HR. Tirmidzi no. 1097. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani)
Teks Hadis Kedelapan
Dari sahabat Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْوَلِيمَةُ أَوَّلَ يَوْمٍ حَقٌّ، وَالثَّانِيَ مَعْرُوفٌ، وَالثَّالِثَ رِيَاءٌ وَسُمْعَةٌ
“Walimah pada hari pertama adalah haq, pada hari kedua adalah ma’ruf (baik dan dianjurkan), dan pada hari ketiga adalah riya’ dan sum’ah (pamer).” (HR. Ibnu Majah no. 1915. Namun, hadis ini dinilai dha’if oleh Al-Albani)
Setelah menyebutkan hadis-hadis tersebut dan juga hadis lain yang semakna, Syekh Abdullah Al-Fauzan berkata,
وبالجملة فحديث الباب ضعيف، وما ورد عن أبي هريرة وأنس كذلك؛ لشدة ضعفها، ولا يرتقي بها الحديث إلى درجة الحسن، قال الشيخ عبد العزيز بن باز: والنفس تميل إلى أن الحديث ليس بصحيح، وأن هذه الأسانيد الضعيفة لا تقويه ولا تجعله في قسم المقبول.
“Secara keseluruhan, hadis-hadis dalam masalah ini statusnya lemah (dha’if), demikian pula hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah dan Anas, karena sanadnya sangat lemah. Hadis ini tidak bisa (naik statusnya) mencapai derajat hasan. Syekh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah mengatakan, ‘Dan jiwa ini cenderung untuk meyakini bahwa hadis ini tidak sahih, dan sanad-sanad yang lemah ini tidak bisa menguatkannya, dan tidak bisa menjadikannya termasuk dalam kategori hadis yang diterima.’” (Lihat Minhatul ‘Allam, 7: 428)
Kandungan Hadis
Bolehkah menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari?
Dalam hadits ini terdapat dalil tentang disyariatkannya jamuan pada walimah selama dua hari. Pada hari pertama, hukumnya wajib berdasarkan sabda Nabi, “Haq”; dan “haq” berarti sesuatu yang tetap dan wajib. Pada hari kedua, hukumnya sunah, yaitu sebuah kebiasaan yang dianjurkan. Sedangkan pada hari ketiga, hukumnya menjadi riya’ dan sum’ah, sehingga menyelenggarakan walimah sampai lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya) hukumnya haram, begitu pula menghadirinya.
Hal itu berdasarkan pendapat ulama yang berpegang pada hadis ini dan yang semakna dengannya. Demikian pula karena melihat bahwa meskipun setiap hadis tersebut tidak lepas dari kritikan, namun secara keseluruhan menunjukkan bahwa hadis-hadis ini memiliki dasar. Ini adalah pendapat Al-Hafizh Ibnu Hajar [1], diikuti oleh Asy-Syaukani [2], dan juga pendapat para fuqaha madzhab Syafi’i dan Hanbali rahimahumullah. Mereka mengatakan bahwa hadis-hadis ini menunjukkan untuk tidak menyelenggarakan walimah lebih dari dua hari (hari ketiga dan seterusnya), dan yang lebih utama serta lebih baik adalah tidak menambah lebih dari dua hari, agar pengundang tidak jatuh ke dalam hal yang dicela.
Imam Bukhari rahimahullah berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah selama tujuh hari, dengan berdalil pada perintah untuk memenuhi undangan yang bersifat umum dan tidak dibatasi sampai berapa hari. Dalam Shahih-nya, beliau rahimahullah memberi judul bab,
باب حقِّ إجابة الوليمة والدعوة، ومن أو لم سبعة أيام ونحوه، ولم يوقِّت النبي – صلى الله عليه وسلم – يومًا ولا يومين
“Bab kewajiban memenuhi (undangan) walimah dan undangan (lainnya), serta orang yang mengadakan walimah selama tujuh hari dan sejenisnya, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membatasi sehari atau dua hari.” [3]
Pendapat ini diikuti oleh mazhab Maliki. Al-Qadhi ‘Iyadh rahimahullah berkata,
واستحب أصحابنا لأهل السعة كونها أسبوعًا
“Para ulama mazhab kami (Malikiyah) menganjurkan bagi orang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mengadakan walimah selama seminggu.” [4]
Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan melalui jalur Hafshah binti Sirin, yang berkata,
لما تزوج أبي سيرين دعا أصحاب رسول الله – صلى الله عليه وسلم – سبعة أيام
“Ketika ayahku, Sirin, menikah, ia mengundang para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selama tujuh hari … “ [5]
Riwayat lain dari Abdur Razzaq menyebutkan.
ثمانية أيام
“Delapan hari.” [6]
Kemungkinan hal ini dapat dipahami bahwa beliau membagi tamu undangan sampai tujuh atau delapan hari walimah, tidak diundang di satu hari sekaligus.
Sejumlah fuqaha, seperti sebagian ulama dari mazhab Maliki dan Syafi’i, serta pendapat yang dipilih oleh Ash-Shan’ani, Ibnu Baz, dan Ibnu Utsaimin rahimahumullah, berpendapat bahwa diperbolehkan mengadakan walimah pada hari ketiga jika terdapat hajat (kebutuhan). Misalnya, jika tamu undangan sangat banyak, atau waktu memang tidak memungkinkan untuk mengumpulkan mereka semua dalam satu hari karena sempitnya tempat, atau alasan-alasan lainnya. Dalam kondisi tersebut, tamu dapat dibagi menjadi tiga atau empat hari, atau jika terdapat kerabat pengundang yang hanya bisa hadir pada hari ketiga, dan alasan-alasan serupa lainnya. [7]
Pendapat ini pendapat adalah yang paling kuat, yang menyelaraskan dalil-dalil yang ada dalam masalah ini. Sebab, jika terdapat alasan-alasan seperti yang disebutkan, maka tidak ada unsur pemborosan atau pamer ketika menyelenggarakan walimah selama beberapa hari. Namun, pada umumnya di zaman kita saat ini, tidak ada kebutuhan untuk mengadakan walimah lebih dari sehari. Sehingga yang lebih hati-hati adalah mencukupkan walimah pada satu hari saja, untuk menghindari pemborosan yang telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat dalam berbagai aspek kehidupan mereka. Hanya kepada Allah tempat memohon pertolongan.
Namun bagi yang memenuhi undangan, sebaiknya hanya cukup hadir pada undangan pertama, agar tidak terkesan rendah diri dengan hadir berulang kali, kecuali jika ada alasan khusus yang menghilangkan kesan tidak baik tersebut. Misalnya, dia adalah seorang kerabat atau pemilik undangan memang merasa senang dengan kehadirannya beberapa kali.
Wallahu Ta’ala a’lam. [8]
[Bersambung]
***
@Fall, 19 Jumadil awal 1446/ 21 November 2024
Penulis: M. Saifudin Hakim
Artikel Muslim.or.id
Catatan kaki:
[1] Fathul Baari, 9: 243.
[2] Nailul Authar, 6: 206.
[3] Lihat Al-Mutawari, karya Ibnu al-Munir, hal. 287; Munasabat Tarajim al-Bukhari, karya Ibnu Jama’ah, hal. 99; Fathul Baari, 9: 240.
[4] Ikmaalul Mu’lim, 4: 588.
[5] Al-Mushannaf, 4: 313.
[6] Al-Mushannaf, 10: 448.
[7] Jawahir al-Iklil, 1: 325; Nihayah al-Muhtaj, 6: 373; Subulus Salam, 3: 278; Syarh al-Mumti’, 12: 333.
[8] Disarikan dari kitab Minhatul ‘Allam fi Syarhi Buluughil Maraam (7: 426-429). Kutipan-kutipan dalam tulisan di atas adalah melalui perantaraan kitab tersebut.
Artikel asli: https://muslim.or.id/101046-hukum-hukum-terkait-walimah-pesta-pernikahan-bag-5.html